Entah Petrol Base, Organic, Water Base, Clay, Fiber, atau apapun varian dan genre nya, semua adalah sebuah manifestasi hasil kerja keras kreatifitas si pembuatnya dalam mengkreasikan sebuah hasil karya.
Terlepas dari semua perdebatan, pembelaan, keberpihakan saling mengagungkan relatifitas kebenaran dan apapun alasannya terhadap basic varian tertentu, dengan mengesampingkan sejenak sisi manfaat nya pada rambut, entah lokal maupun maupun import, semua akan berujung pada sebuah hasil akhir berupa aplikasi gaya rambut dan hal tersebut kembali pada kebijakan diri sendiri sebagai pengguna/pembeli akan menjatuhkan pilihannya kemana sesuai selera dan kepuasan masing-masing.
Sederhana yang terkadang kita terlalu disibukkan dengan mudahnya mengulik sebuah makna kekurangan dan kejelekan sesuatu daripada susahnya untuk berani mengungkap indahnya kebaikan dan membuatnya semakin rumit dan membuang energi dengan kekuatan ego kita untuk bersitegang dan berselisih paham hanya karena perbedaan muatan komposisi bahan.
Apapun yang terjadi dalam dinamika gaya rambut terutama pomade di Indonesia, bahwa mau tidak mau kebhinnekaan tersebut sudah semestinya diterima dengan lapang dada, dengan segala kebaikan, keburukan, kekurangan, kelebihan yang ada. Siapa yang sempurna?
Bahan, umumnya bahan pomade selalu berkecimpung pada lingkup bahan yang sama dalam pembuatan sebuah pomade. Tidak lebih dari padatan (solid) berupa wax dengan segala jenisnya, setengah padatan (semisolid) layaknya butter, serat dan cairan (liquid) berupa oil, air dan lainnya. Tidak terlalu susah membuatnya, yang membedakan adalah proses (toleransi dan koreksi waktu) formulasi dalam mengemas beraneka bahan menjadi sebuah pomade yang khas ala si pembuatnya entah mengusung konsep marketing dengan polesan aroma, warna, kemasan, label, genre/tema/komunitas, kasta, harga, tekstur dan hasil akhir aplikasi sehingga tercipta sesuatu yang khas tentu akan kembali pada si pembuatnya. Dan bermuara lagi pada hasil aplikasi bukan? dengan segala gaya rambut sesuai selera masing-masing tentunya.
Bukan berarti semuanya dijalani tanpa mengindahkan yang namanya etika, minimal sebagai wujud untuk menghargai diri sendiri dalam membuat sebuah hasil karya sehingga tercipta sinergi saling menghargai, mengapresiasi. Jika dari dalam saja kita tidak bisa menghargai diri kita sendiri, masihkah ada harapan sebuah penghargaan akan muncul dari orang lain ?
Setidaknya bisa menjawab sekian banyak pertanyaan/komentar yang termoderasi karena dirasa kurang pas untuk ditayangkan demi menjaga semuanya. Bahwa semuanya adalah hal yang baik wujud sebuah makna kebanggan dan benar dengan versi masing-masing dan pada kenyataan nya perbedaan itu indah jika kita bisa memaknainya dengan sudut pandang kebaikan yang berbeda. Salam klimis.